Jika ingin melihat perkembangan
bahasa Indonesia saat ini kita harus kilas balik melihat embrio dari bahasa
Indonesia yaitu bahasa Melayu Kuno dan bahasa Sanskerta. Bahasa Melayu Kuno dan
bahasa Sanskerta digunakan untuk komunikasi oleh kerajaan-kerajaan besar di
Indonesia pada jaman dahulu kala seperti Majapahit, Sriwijaya, Kutai, dan
lain-lain. Kemudian pada saat para penjajah datang yaitu pemerintah kolonial
Inggris dan Belanda mereka saling berebut kekuasaan untuk menjajah Indonesia,
kemudian kedua negara penjajah tersebut mengadakan kesepakatan dengan
dikeluarkannya Traktat London pada tahun 1824. Salah satu tujuan dikeluarkannya
traktat tersebut adalah untuk keperluan perkembangan bahasa Melayu menjadi
Bahasa Indonesia. Setelah traktat atau perjanjian tersebut berlangsung, bahasa
Melayu dibagi menjadi empat arah yaitu :
1. Di Indonesia menjadi bahasa Indonesia.
2. Di Malaysia menjadi bahasa Malaysia.
3. Di Brunei Darussalam menjadi bahasa
Melayu Baku.
4. Di Singapura menjadi bahasa Nasional.
Dari empat arah tersebut
yang memiliki keunikan adalah bahasa Indonesia, karena bahasa Indonesia
memiliki lafal dan aksen yang berbeda.
Seiring dengan perkembangan semangat juang bangsa Indonesia, pada tanggal 28
Oktober 1928 para pemuda Indonesia mengikrarkan sumpah pemuda. Sejak saat itu
Bahasa Indonesia mulai berkembang lagi bagaikan jamur di musim hujan, dimulai
dari ejaan lama hingga ejaan baru seperti yang kita gunakan sekarang ini.
Berikut ini adalah perbandingan ejaan lama dengan ejaan baru, huruf ‘j’
ditulis ‘dj’, huruf ‘u’ ditulis ‘oe’, dan masih banyak lagi perbandingan
lainnya yang tidak dapat disebutkan satu persatu.
http://obyramadhani.wordpress.com/2009/10/02/3/
Sampai saat ini bahasa
nasional Indonesia memang hanya ada satu, tetapi bahasa di Indonesia banyak
sekali hingga ratusan jumlahnya karena setiap suku dari Sabang sampai Merauke
memiliki bahasa yang berbeda. Bahkan setiap bahasa memiliki tingkatan lagi
seperti halus, sedang, dan kasar ( bahasa Jawa dan Sunda contohnya).
Tetapi sayang sekali saat
ini Bahasa Indonesia tumbuh tanpa arah yang jelas. Salah satu penyebabnya
adalah penggunaan bahasa Indonesia melalui siaran baik radio maupun televisi.
Memang untuk mewujudkan Bahasa Siaran yang standar atau baku seperti
mengharapkan hujan tanpa awan, karena kemajemukan bangsa Indonesia dan
keberagaman dialek Nusantara. Padahal sudah ada sederet undang-undang dan pasal
yang mengatur tentang bahasa penyiaran seperti Undang-Undang no. 32 tahun 2002,
tentang Penyiaran pasal 37 menyatakan bahwa Bahasa Pengantar Utama dalam
penyelenggaraan program siaran harus Bahasa Indonesia yang baik dan benar.
Pasal 38 menyatakan bahwa Bahasa Daerah dapat digunakan sebagai bahasa
pengantar dalam penyelenggaraan program siaran muatan lokal dan apabila
diperlukan untuk mendukung mata acara tertentu. Bahasa asing hanya dapat
digunakan sebagai bahasa pengantar sesuai dengan keperluan suatu mata acara
siaran. Pasal 39 menyatakan bahwa mata acara siaran bahasa asing dapat
disiarkan dalam bahasa aslinya dan khusus untuk jasa penyiaran televisi harus
diberi teks Bahasa Indonesia atau secara selektif disulihsuarakan ke dalam
Bahasa Indonesia sesuai dengan keperluan mata acara tertentu.
Tak dinyana Undang-Undang
tersebut hanya menjadi aturan belaka, karena memang pada kenyataannya
menetapkan seluruh acara di televisi dan radio menggunakan bahasa yang baku
memang sulit sekali karena sasaran dan kepentingan yang berbeda.
Ada segelintir masyarakat
yang beranggapan bahwa Bahasa Indonesia adalah bahasa yang paling miskin di
dunia, hal tersebut dikarenakan banyak kata-kata di dalam Bahasa Indonesia yang
mengadopsi dari bahasa asing, seperti kata ‘mubazir’ yang berasal dari Bahasa
Arab, kata ‘isolasi’ dari Bahasa Inggris, dan masih bayak lagi kata adopsi
lainnya.
Tetapi kita sebagai Bangsa
Indonesia yang besar dan memiliki bahasa sendiri harus bangga terhadap Bahasa
Indonesia, karena Bahasa Indonesia adalah bahasa milik Indonesia sendiri, bukan
milik negara lain. Jangan sampai Bahasa Indonesia di-claim oleh
negara lain.
refrensi:
http://obyramadhani.wordpress.com/2009/10/02/3/
Jika ingin melihat perkembangan
bahasa Indonesia saat ini kita harus kilas balik melihat embrio dari bahasa
Indonesia yaitu bahasa Melayu Kuno dan bahasa Sanskerta. Bahasa Melayu Kuno dan
bahasa Sanskerta digunakan untuk komunikasi oleh kerajaan-kerajaan besar di
Indonesia pada jaman dahulu kala seperti Majapahit, Sriwijaya, Kutai, dan
lain-lain. Kemudian pada saat para penjajah datang yaitu pemerintah kolonial
Inggris dan Belanda mereka saling berebut kekuasaan untuk menjajah Indonesia,
kemudian kedua negara penjajah tersebut mengadakan kesepakatan dengan
dikeluarkannya Traktat London pada tahun 1824. Salah satu tujuan dikeluarkannya
traktat tersebut adalah untuk keperluan perkembangan bahasa Melayu menjadi
Bahasa Indonesia. Setelah traktat atau perjanjian tersebut berlangsung, bahasa
Melayu dibagi menjadi empat arah yaitu :
1. Di Indonesia menjadi bahasa Indonesia.
2. Di Malaysia menjadi bahasa Malaysia.
3. Di Brunei Darussalam menjadi bahasa
Melayu Baku.
4. Di Singapura menjadi bahasa Nasional.
Dari empat arah tersebut
yang memiliki keunikan adalah bahasa Indonesia, karena bahasa Indonesia
memiliki lafal dan aksen yang berbeda.
Seiring dengan perkembangan semangat juang bangsa Indonesia, pada tanggal 28 Oktober 1928 para pemuda Indonesia mengikrarkan sumpah pemuda. Sejak saat itu Bahasa Indonesia mulai berkembang lagi bagaikan jamur di musim hujan, dimulai dari ejaan lama hingga ejaan baru seperti yang kita gunakan sekarang ini. Berikut ini adalah perbandingan ejaan lama dengan ejaan baru, huruf ‘j’ ditulis ‘dj’, huruf ‘u’ ditulis ‘oe’, dan masih banyak lagi perbandingan lainnya yang tidak dapat disebutkan satu persatu.
http://obyramadhani.wordpress.com/2009/10/02/3/
Sampai saat ini bahasa
nasional Indonesia memang hanya ada satu, tetapi bahasa di Indonesia banyak
sekali hingga ratusan jumlahnya karena setiap suku dari Sabang sampai Merauke
memiliki bahasa yang berbeda. Bahkan setiap bahasa memiliki tingkatan lagi
seperti halus, sedang, dan kasar ( bahasa Jawa dan Sunda contohnya).
Tetapi sayang sekali saat
ini Bahasa Indonesia tumbuh tanpa arah yang jelas. Salah satu penyebabnya
adalah penggunaan bahasa Indonesia melalui siaran baik radio maupun televisi.
Memang untuk mewujudkan Bahasa Siaran yang standar atau baku seperti
mengharapkan hujan tanpa awan, karena kemajemukan bangsa Indonesia dan
keberagaman dialek Nusantara. Padahal sudah ada sederet undang-undang dan pasal
yang mengatur tentang bahasa penyiaran seperti Undang-Undang no. 32 tahun 2002,
tentang Penyiaran pasal 37 menyatakan bahwa Bahasa Pengantar Utama dalam
penyelenggaraan program siaran harus Bahasa Indonesia yang baik dan benar.
Pasal 38 menyatakan bahwa Bahasa Daerah dapat digunakan sebagai bahasa
pengantar dalam penyelenggaraan program siaran muatan lokal dan apabila
diperlukan untuk mendukung mata acara tertentu. Bahasa asing hanya dapat
digunakan sebagai bahasa pengantar sesuai dengan keperluan suatu mata acara
siaran. Pasal 39 menyatakan bahwa mata acara siaran bahasa asing dapat
disiarkan dalam bahasa aslinya dan khusus untuk jasa penyiaran televisi harus
diberi teks Bahasa Indonesia atau secara selektif disulihsuarakan ke dalam
Bahasa Indonesia sesuai dengan keperluan mata acara tertentu.
Tak dinyana Undang-Undang
tersebut hanya menjadi aturan belaka, karena memang pada kenyataannya
menetapkan seluruh acara di televisi dan radio menggunakan bahasa yang baku
memang sulit sekali karena sasaran dan kepentingan yang berbeda.
Ada segelintir masyarakat
yang beranggapan bahwa Bahasa Indonesia adalah bahasa yang paling miskin di
dunia, hal tersebut dikarenakan banyak kata-kata di dalam Bahasa Indonesia yang
mengadopsi dari bahasa asing, seperti kata ‘mubazir’ yang berasal dari Bahasa
Arab, kata ‘isolasi’ dari Bahasa Inggris, dan masih bayak lagi kata adopsi
lainnya.
Tetapi kita sebagai Bangsa
Indonesia yang besar dan memiliki bahasa sendiri harus bangga terhadap Bahasa
Indonesia, karena Bahasa Indonesia adalah bahasa milik Indonesia sendiri, bukan
milik negara lain. Jangan sampai Bahasa Indonesia di-claim oleh
negara lain.
refrensi:
http://obyramadhani.wordpress.com/2009/10/02/3/